*turn into a melancholy me*
Aku mengernyitkan mata, memandang tajam keluar jendela. Menyelidiki gadis itu sampai detail terkecil, berharap bahwa aku salah. Apa itu dia? Tanyaku dalam hati, tidak yakin. Sekali lagi, aku memperhatikannya. Tidak, ini pasti dia. Sedikit berubah, namun aku masih mengenalinya dengan baik. Wajahnya yang kecil, matanya yang sedikit sipit, dan rambutnya yang pendek sebahu. Namun, dengan balutan seragam putih abu-abu.
Aku ingin membuka mulut. Tapi aneh, hatiku menolak. Mulutku pun tampak menolak--tidak secentimeterpun bergerak dari tempat awalnya. Aku tahu ini tidak baik, tapi, Ia pun tampak acuh. Oh, well, apa yang aku harapkan? Pelukan hangat sebagaimana teman lama yang baru saja bertemu? Beberapa rangkaian kejadian dari masa lalu terbesit di benakku. Rasanya, mual. Apa dia ingat tentang semua itu? Aku ingin tahu. Tapi hal yang paling ingin aku ketahui dari dulu adalah, apa tujuannya melakukan itu semua?
Ini terasa salah. Aku tidak pernah ingin mengingatnya--aku selalu berusah melupakannya, tapi tiba-tiba rasa sakit itu datang dan memporak porandakan semuanya. Seperti terjebak dalam lingkaran setan, dia yang membuatku seperti ini--terus menanam rasa sakit hati ini dalam-dalam, tapi layaknya sebuah pohon, sakit hati ini tumbuh menjadi dendam yang makin lama makin kuat. Walau aku sama sekali tidak pernah memintanya. Tidak pernah.
Entah mengapa, ingatanku masih sangat tajam. Hari-hari kelabu itu, masih sangat jelas. Saat Ia marah tanpa alasan padaku, membentaku, dan menyuruhku ini dan itu layaknya jongos. Aku masih sangat kecil, 8 tahun, kelas 3 SD. Dia teman sebangkuku. Aku tidak pernah menilainya buruk, dia cantik dan lumayan pintar. Tapi siapa yang tau? Seseorang berpenampilan menggemaskan seperti dia bisa berperilaku seperti itu?
Aku ingat, setiap kali ia marah, ia akan membuat batasan di meja, dan aku tidak boleh melaluinya. Sementara aku hanya diberi 1/8 dari keseluran meja tersebut. Aku ingat lagi, dia tidak sepintar yang aku duga, dia mencontek. Dan aku? Aku adalah budaknya dimana aku harus menguras otak untuk berpikir selama Ia dengan mudah menyalin jawabanku. Aku harus berhati-hati dalam berkata-kata. Kenapa? Dia akan mudah salah paham. Saat aku mengatakan orang lain 'cantik' dan mengatakan dia 'imut' dia akan salah persepsi--mengira aku mengatakan bahwa ia 'tidak cantik' atau 'jelek'. Lalu dia akan membentakku dan melempar barang-barangku. Saat ia meminjam uang, ia akan lari dan berkata "Kalau kamu mau menagih hutangku, aku marah!"
Aku tidak pernah berani memberi tahu orang tuaku atau siapapun. Aku takut, bagaimana jika aku mengatakan pada orang tuaku, dan mereka memarahinya, Ia akan semakin sering memarahi dan membully ku. Karena itu aku terus memendamnya sendiri, menjadikannya makanan sehari-hari. Dan semua itu berlangsung selama 1 tahun. Sampai akhirnya, kami berdua naik kelas, dan berada pada kelas yang berbeda. Aku semakin jarang menemuinya dan pada akhirnya, aku lost contact dengannya. Seperti dua manusia yang tidak pernah mengenal satu sama lain.
Dan sekarang, gadis pembully itu sudah beranjak dewasa dan duduk tepat di depanku--seseorang yang pernah ia bully, seseorang yang pernah ia jadikan budaknya. Aku bertanya-tanya, apa dia masih seperti dulu? Ataukah dia sudah berubah? Atau, apakah dia mendapat karma? Semua pertanyaan itu memenuhi kepalaku untuk beberapa saat, dan saat ku sadari, aku sudah hampir sampai.
Aku baru menyadari, aku tidak punya waktu untuk memikirkan masa lalu kelam dan seorang penggertak seperti dia. Yang harus ku pikirkan adalah masa depan dan bagaimana aku bisa menjadi lebih baik darinya. Suatu saat nanti, dia akan melihatku di layar besar dan aku akan tersenyum padanya, berterima kasih.
Aku ingin membuka mulut. Tapi aneh, hatiku menolak. Mulutku pun tampak menolak--tidak secentimeterpun bergerak dari tempat awalnya. Aku tahu ini tidak baik, tapi, Ia pun tampak acuh. Oh, well, apa yang aku harapkan? Pelukan hangat sebagaimana teman lama yang baru saja bertemu? Beberapa rangkaian kejadian dari masa lalu terbesit di benakku. Rasanya, mual. Apa dia ingat tentang semua itu? Aku ingin tahu. Tapi hal yang paling ingin aku ketahui dari dulu adalah, apa tujuannya melakukan itu semua?
Ini terasa salah. Aku tidak pernah ingin mengingatnya--aku selalu berusah melupakannya, tapi tiba-tiba rasa sakit itu datang dan memporak porandakan semuanya. Seperti terjebak dalam lingkaran setan, dia yang membuatku seperti ini--terus menanam rasa sakit hati ini dalam-dalam, tapi layaknya sebuah pohon, sakit hati ini tumbuh menjadi dendam yang makin lama makin kuat. Walau aku sama sekali tidak pernah memintanya. Tidak pernah.
Entah mengapa, ingatanku masih sangat tajam. Hari-hari kelabu itu, masih sangat jelas. Saat Ia marah tanpa alasan padaku, membentaku, dan menyuruhku ini dan itu layaknya jongos. Aku masih sangat kecil, 8 tahun, kelas 3 SD. Dia teman sebangkuku. Aku tidak pernah menilainya buruk, dia cantik dan lumayan pintar. Tapi siapa yang tau? Seseorang berpenampilan menggemaskan seperti dia bisa berperilaku seperti itu?
Aku ingat, setiap kali ia marah, ia akan membuat batasan di meja, dan aku tidak boleh melaluinya. Sementara aku hanya diberi 1/8 dari keseluran meja tersebut. Aku ingat lagi, dia tidak sepintar yang aku duga, dia mencontek. Dan aku? Aku adalah budaknya dimana aku harus menguras otak untuk berpikir selama Ia dengan mudah menyalin jawabanku. Aku harus berhati-hati dalam berkata-kata. Kenapa? Dia akan mudah salah paham. Saat aku mengatakan orang lain 'cantik' dan mengatakan dia 'imut' dia akan salah persepsi--mengira aku mengatakan bahwa ia 'tidak cantik' atau 'jelek'. Lalu dia akan membentakku dan melempar barang-barangku. Saat ia meminjam uang, ia akan lari dan berkata "Kalau kamu mau menagih hutangku, aku marah!"
Aku tidak pernah berani memberi tahu orang tuaku atau siapapun. Aku takut, bagaimana jika aku mengatakan pada orang tuaku, dan mereka memarahinya, Ia akan semakin sering memarahi dan membully ku. Karena itu aku terus memendamnya sendiri, menjadikannya makanan sehari-hari. Dan semua itu berlangsung selama 1 tahun. Sampai akhirnya, kami berdua naik kelas, dan berada pada kelas yang berbeda. Aku semakin jarang menemuinya dan pada akhirnya, aku lost contact dengannya. Seperti dua manusia yang tidak pernah mengenal satu sama lain.
Dan sekarang, gadis pembully itu sudah beranjak dewasa dan duduk tepat di depanku--seseorang yang pernah ia bully, seseorang yang pernah ia jadikan budaknya. Aku bertanya-tanya, apa dia masih seperti dulu? Ataukah dia sudah berubah? Atau, apakah dia mendapat karma? Semua pertanyaan itu memenuhi kepalaku untuk beberapa saat, dan saat ku sadari, aku sudah hampir sampai.
Aku baru menyadari, aku tidak punya waktu untuk memikirkan masa lalu kelam dan seorang penggertak seperti dia. Yang harus ku pikirkan adalah masa depan dan bagaimana aku bisa menjadi lebih baik darinya. Suatu saat nanti, dia akan melihatku di layar besar dan aku akan tersenyum padanya, berterima kasih.
based on true story
Tidak ada komentar:
Posting Komentar